Review Jurnal: Tingginya Resiko Kesehatan Seiring Tingginya Konsumsi Makanan Olahan

               Makanan olahan yang saat ini cukup populer di bidang gizi adalah ‘ultra-processed food’. Disebut makanan ultra proses karena melalui proses pengolahan yang cukup panjang. Makanan tersebut diberi bahan tambahan makanan seperti garam, gula, pengawet atau pewarna dalam skala yang besar. Makanan ultra-processed saat ini menjadi sesuatu yang tidak asing lagi di masyarakat semua kalangan. Dari segi kesehatan, makanan ini menjadi sebuah ancaman karena berbagai studi telah membuktikan bahwa makanan ultra-processed merupakan penyumbang utama penyakit kronik. Banyak penelitian kohort dengan jumlah responden yang besar juga membuktikan bahwa makanan ultra-processed berkaitan dengan kejadian obesitas, penyakit jantung dan metabolik, serta kejadian kanker. Beberapa studi nasional juga menunjukkan bahwa konsumsi makanan ultra-processed menunjukkan kualitas kesehatan yang buruk. Beberapa makanan yang termasuk ultra-processed antara lain sup instan, sup kaleng, daging/ikan olahan kemasan, saus siap saji, kentang siap pakai, kentang goreng kemasan, puding siap makan, makanan ringan manis dan gurih, granola bar, minuman berpemanis, soda, minuman buah siap saji, teh/kopi kemasan siap minum, yoghurt kemasan siap saji, kue kering dan roti yang diproduksi industri, sereal sarapan manis, makanan kemasan siap makan, dll. 

               Awal 2022 ini, American Journal of Clinical Nutrition mempublikasikan jurnalnya yang berjudul ‘Ultra-processed food consumption among US adults from 2001 to 2018’. Meskipun masih baru, jurnal ini cukup populer dan disoroti di website ASN. Jurnal ini meneliti konsumsi makanan ultra-processed masyarakat di US pada selama 18 tahun (2001-2018). Data dikumpulkan dengan metode recall-24 jam pada 40,937 responden. Makanan pada saat interview dikategorikan menjadi empat, yaitu minimally processed foods, processed culinary ingredients, processed food dan ultra processed food. Masing-masing kategori makanan tersebut dihitung kandungan kalorinya dan dihitung persen pemenuhan energi harian. Data sosiodemografi juga digali dalam penelitian ini, diantaranya pendidikan, pendapatan, usia.

Hasil menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan yang lebih rendah dan usia yang tua memiliki asupan makanan ultra-processed yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih rendah berdampak terhadap kurangnya pemahaman akan makanan sehat. Sementara dari segi usia, lansia justru lebih banyak mengkonsumsi karena generasi tersebut ada saat makanan ultra-processed berkembang pesat dan banyak tersedia, sehingga pada akhirnya mempengaruhi preferensi makan. Dari segi pendapatan, semua kalangan mengalami peningkatan. Pada kalangan atas, makanan ultra-processed yang lebih dipilih adalah makanan yang termasuk ‘golongan premium’. Disebut premium karena terdapat penambahan komponen makanan agar makanan tampak ‘lebih sehat’, misalnya penambahan serat, omega-3, probiotik. Hasil akumulasi jumlah konsumen makanan ultra-processed cukup memprihatinkan, yaitu tren konsumsi makanan ultra-processed yang terus meningkat dari tahun 2001 ke tahun 2018 yaitu 53,5% menjadi 57,0%. Hasil ini sejalan dengan peningkatan angka obesitas di US tahun 1999 ke tahun 2018, yaitu dari 27,5% menjadi 43,0% pada laki-laki serta dari 33,4% menjadi 41,9% pada perempuan.

 

Sumber bacaan:

Filippa Juul, Niyati Parekh, Euridice Martinez-Steele, Carlos Augusto Monteiro, Virginia W Chang, Ultra-processed food consumption among US adults from 2001 to 2018, The American Journal of Clinical Nutrition, Volume 115, Issue 1, January 2022, Pages 211–221, https://doi.org/10.1093/ajcn/nqab305

Leave a comment

Dampak Covid